JAKARTA - Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam
perjanjian build operate and transfer (BOT) antara BUMN PT Hotel
Indonesia Natour (HIN) dengan dengan swasta tetapi ada dalam berita
acara penyelesaian pekerjaan, harus disita negara.
“Jika negara memang hadir dan mendayagunakan aset milik negara demi kemakmuran rakyat, kedua bangunan itu harus disita,” tegas Ketua Umum Barisan Relawan Jokowi Presiden (BaraJP) di Jakarta Jumat (5/2).
Sihol menolak opsi renegosiasi ulang dengan developer. Negara harus tegas, siapa pun mitra BOT BUMN PT HIN. Jika direnogesiasi, negara kalah. Jalan terbaik, solusi hukum dan disita oleh negara, kemudian dijual atau di-BOT-kan secara lelang.
Dalam kontrak BOT (2004) antara HIN dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI) dan PT Grand Indonesia (GI), hanya empat objek fisik bangunan di atas tanah negara. Yaitu hotel bintang lima (seluas 42.815 m2), pusat perbelanjaan I (80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2) dan lahan parkir (175.000m2).
Tetapi dalam berita acara penyelesaian pekerjaan (11 Maret 2009), ternyata ada Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Karena tidak ada dalam kontrak, dengan sendirinya kedua bangunan ini tidak termasuk BOT sehingga merugikan negara triliunan rupiah.
Masalah ini diangkat Komisaris HIN, Michael Umbas. “Kedua gedung dibangun di luar kontrak. Mereka menyewakan, tetapi tidak pernah diperhitungkan kepada kami,” ungkapnya.
Sihol berpendapat, jangan sampai HIN merenogesisasi eksistensi kedua bangunan, tetapi harus membawa masalah ini ke jalur hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus proaktif meneleiti kasus ini.
“Negara sudah tulus mengikat perjanjian BOT. Tetapi ada bangunan lain. Jangan renegosiasi, tetapi solusi hukum. Kedua gedung bisa dibangun, bukti berbagai penyelewengan, mulai dari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lain0lain,” kata Sihol. (dd)
“Jika negara memang hadir dan mendayagunakan aset milik negara demi kemakmuran rakyat, kedua bangunan itu harus disita,” tegas Ketua Umum Barisan Relawan Jokowi Presiden (BaraJP) di Jakarta Jumat (5/2).
Sihol menolak opsi renegosiasi ulang dengan developer. Negara harus tegas, siapa pun mitra BOT BUMN PT HIN. Jika direnogesiasi, negara kalah. Jalan terbaik, solusi hukum dan disita oleh negara, kemudian dijual atau di-BOT-kan secara lelang.
Dalam kontrak BOT (2004) antara HIN dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI) dan PT Grand Indonesia (GI), hanya empat objek fisik bangunan di atas tanah negara. Yaitu hotel bintang lima (seluas 42.815 m2), pusat perbelanjaan I (80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2) dan lahan parkir (175.000m2).
Tetapi dalam berita acara penyelesaian pekerjaan (11 Maret 2009), ternyata ada Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Karena tidak ada dalam kontrak, dengan sendirinya kedua bangunan ini tidak termasuk BOT sehingga merugikan negara triliunan rupiah.
Masalah ini diangkat Komisaris HIN, Michael Umbas. “Kedua gedung dibangun di luar kontrak. Mereka menyewakan, tetapi tidak pernah diperhitungkan kepada kami,” ungkapnya.
Sihol berpendapat, jangan sampai HIN merenogesisasi eksistensi kedua bangunan, tetapi harus membawa masalah ini ke jalur hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus proaktif meneleiti kasus ini.
“Negara sudah tulus mengikat perjanjian BOT. Tetapi ada bangunan lain. Jangan renegosiasi, tetapi solusi hukum. Kedua gedung bisa dibangun, bukti berbagai penyelewengan, mulai dari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lain0lain,” kata Sihol. (dd)
Posting Komentar